IAAI Merayakan Hari Purbakala ke-111

Hari Purbakala ditetapkan tanggal 14 Juni, memperingati berdirinya Dinas Purbakala, atau Oudheidkundige Dienst. Untuk menyambut Hari Purbakala ke-111 tahun 2024, IAAI menyelenggarakan serangkaian acara, baik dilakukan oleh IAAI Pusat maupun Komda-Komda, dengan tema “Merawat Warisan Budaya, Menjaga Identitas”.

Pada tanggal 14 Juni diselenggarakan Malam Renungan, yang selenggarakan secara daring. Sebagai inti acara dari peringatan tersebut adalah sambutan dari ketua IAAI, Marsis Sutopo, sambutan dari Majelis Kode Etik, sambutan dari Dewan Pengawas, serta renungan dari seluruh komda, mulai dari Sulampapua hingga Sumatra Utara-Aceh. Pada kesempatan tersebut juga dibacakan riwayat perkembangan pengelolaan kepurbakalaan di Indonesia, dari masa Kolonial hingga masa kini.

(Pembukaan Hari Purbakala ke-111 di Benteng Vredeburg. Foto oleh Danang Indra Prayudha 2024)

Acara lain yang diselenggarakan oleh IAAI Pusat adalah bedah buku yang diselenggarakan tanggal 22 Juni 2024 secara bauran. Acara luring diselenggarakan di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, yang dihadiri sekitar 50 orang. Pada acara ini ditampilkan tiga buku karya anggota IAAI, yaitu buku “Sabang Permata Khatulistiwa” karya H.M.M.C. J. Wirtjes XVI dengan penerbit Swarnadwipa, “Keraton Demak, sebuah Kajian tentang Sejarah Situs dan Upaya Pelestariannya” karya Eko Punto Hendro yang diterbitkan oleh Tiga Media, dan “Arkeologi Kritis” terbitan Luar Kotak, karya Andre Donas. Sebagai pembahas buku-buku tersebut juga anggota IAAI, yaitu Gunadi Kasnowiharjo (BRIN) dan Fahmi Prihantoro (Departemen Arkeologi FIB UGM), dan moderator D.S. Nugrahani.

(Kegiatan Bedah Buku dalam Peringatan Hari Purbakala ke-111 di Benteng Vredeburg. Foto oleh Danang Indra Prayudha 2024)

Pada kesempatan ini Pak Gunadi bahwa yang menarik dari buku Pak Eko Punto adalah bahwa penulis menampilkan posisi Jawa Tengah yang strategis, mulai dari masa Prasejarah dengan Situs Pati Ayam hingga masa Kolonial. Metode penelitian yang digunakan cukup banyak dan beragam, sehingga data yang dijaring memang banyak. Arkeologi dapat bekerja maksimal jika didukung oleh disiplin-disiplin lain secara kolaboratif. Sementara itu, terkait dengan buku Pak Andre, Arkeologi Kritis berangkat dari mengkritisi, rasa berontak terhadap arkeologi sendiri. Buku ini ditulis berdasar pengalaman, diskusi, dan kajian penulis yang saat ini justru tidak berkerja di dalam lingkungan Arkeologi. Pesan dari buku ini yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana perhatian terhadap masyarakat diberikan saat penelitian atau pengelolaan arkeologi.

Terhadap buku Pak Wirtjes (Yance), potensi arkeologis di Sabang antara lain adalah kompleks karantina jamaah haji yang digunakan di masa lalu. Buku yang cukup tebal ini, mengandung 26 bab yang dapat dibagi tiga, yaitu potensi terkait Sabang, hasil kajian atas data dan kasus lapangan, dan pembangunan instalasi penting seperti stasiun radio, radar, dan bunker. Hal itu menyatakan pentingnya Pulau We tempat Sabang berada, bagi pemerintah kolonial Belanda. Semua itu membuat Sabang disebut sebagai Permata Khatulistiwa.

Fahmi Prihantoro melihat bahwa ketiga buku tersebut memiliki kemiripan karena mengumpulkan berbagai tulisan. Karena semua alumni arkeologi, maka aroma arkeologi cukup kuat. Ketiganya juga membicarakan masa lalu dan masa kini. Misalnya Pak Yance selain membicarakan Sabang di masa lalu, tetapi juga membahas masa kini, Pak Eko Punto selain membahas masa lalu Demak, juga pengelolaan sehingga merupakan kondisi masa kini. Sementara itu, Pak Andre memang lebih banyak menulis masa kini. Tentang buku Pak Yance, penulis dipandang memiliki pengalaman historis dan emosional yang kuat karena merupakan keturunan dari tokoh di Sabang. Data tangible dan intangible cukup banyak disampaikan karena kedekatan tersebut. Permasalahan masa kini terkait dengan pariwisata dan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi yang dirasa belum cukup berhasil.

Buku Pak Eko Punto, menjawab pertanyaan penting misalnya letak kerajaan Demak. Pada sisi pelestarian sudah dicoba untuk merencanakan pengelolaan bekas keraton. Beberapa pertanyaan umum yang tidak dijawab misalnya apa yang terjadi dengan tinggalan lain selain masjid, yang saat ini hampir tidak terlihat bekasnya. Tentang buku Pak Andre, nama “Luar Kotak” yang menerbitkan buku ini, menandakan bahwa penulis berada di luar kota arkeologi. Buku yang tidak terlalu akademis sehingga dapat dibaca oleh orang awam. Pesan penting dari buku ini adalah di setiap objek arkeologis selalu ada orang-orang di sekelingnya sehingga tidak pernah menjadi benda mati. Buku ini juga mempertanyakan apakah terdapat kritik arkeologi khas Indonesia.

Sebagai catatan, H.M.M.C. J. Wirtjes XVI  adalah alumnus Arkeologi FS UGM yang sekarang berada di Komda Sumatra Utara-Aceh, Eko Punto Hendro adalah alumnus Arkeologi FS UGM yang berada di  Komda DIY-Jateng, dan Andre Donas adalah alumnus Arkeologi FS UI, menjadi anggota Komda Jabodetabek.